Kesenian musik ini merupakan perpaduan dari kesenian musik setempat dengan Cina. Hal ini dapat dilihat dari instrumen musik yang digunakan, seperti alat musik gesek dari Cina yang bernama Kongahyan, Tehyan dan Sukong. Sementara alat musik Betawi antara lain; gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang kempul dan gong.
Kesenian Gambang Kromong berkembang pada abad 18, khususnya di sekitaran daerah Tangerang. Bermula dari sekelompok grup musik yang dimainkan oleh beberapa orang pekerja pribumi di perkebunan milik Nie Hu Kong yang berkolaborasi dengan dua orang wanita perantauan Cina yang baru tiba dengan membawa Tehyan dan Kongahyan.
Pada awalnya lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu Cina, pada istilah sekarang lagu-lagu klasik semacam ini disebut Phobin. Lagu Gambang Kromong muatan lokal yang masih kental unsur klasiknya bisa didengarkan lewat lagu Jali-Jali Bunga Siantan, Cente Manis, dan Renggong Buyut.
Pada tahun 70an Gambang Kromong sempat terdongkrak keberadaannya lewat sentuhan kreativitas "Panjak" Betawi legendaris "Si Macan Kemayoran", Almarhum H. Benyamin Syueb bin Ji'ung. Dengan sentuhan berbagai aliran musik yang ada, jadilah Gambang Kromong seperti yang kita dengar sekarang. Hampir di tiap hajatan atau "kriya'an" yang ada di tiap kampung Betawi, mencantumkan Gambang Kromong sebagai menu hidangan musik yanh paling utama.
Seniman Gambang Kromong yang dikenal selain H. Benyamin Syueb adalah Nirin Kumpul, H. Jayadi dan bapak Nya'at.
Seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan musik ini menjadi "terengah-engah" antara hidup dan mati (dalam tabel yang dibuat Yahya AS termasuk dalam kondisi "sedang"). Musik ini hanya terdengar di antara bulan Juni saja, yaitu sewaktu hari ulang tahun Jakarta. padahal tanggal dan tahun kelahiran kota jakarta saja belum jelas pastinya. Itupun di tempat-tempat tertentu, seperti di Setu Babakan misalnya.
Diperlukan pembinaan dan pelestarian berkelanjutan seni musik Gambang Kromong ini, khususnya bagi generasi muda Betawi. Kepedulian generasi muda Betawi terhadap keseniannya (seni musik dan seni silat) hendaknya harus melebihi generasi muda di daerah lainnya, karena keberadaan etnis Betawi itu sendiri yang berada di ibu kota Jakarta sebagai etalase kebudayaan Indonesia.