Deep Purple, Pelopor Hard Rock Modern

DALAM sejarah musik dunia, terutama rock, mungkin hanya Deep Purple grup yang paling sering bongkar-pasang formasi.  Bayangkan, sejak dibentuk tahun 1968, grup asal Inggris ini tak kurang telah delapan kali bongkar pasang line up mereka. Bahkan, untuk menandai kekhususannya, setiap formasi itu diberi nama “Mark”.  Maka jadilah, Deep Purple versi formasi Mark I hingga saat ini, Mark VIII.

Setiap Mark, tentu punya kisah dan cerita tersendiri. Setiap Mark memiliki sukses sendiri. Namun, hanya satu yang tak berubah dari Deep Purple. Sejak dulu, hingga sekarang, mereka tetap mendapat julukan sebagai pionir heavy metal atau hard rock modern, bersama Led Zeppelin, dan Black Sabbath.

Ya, mulai Mark I, yang menghasilkan tiga album: Shades of Deep Purple, The Book of Taliesyn (1968), dan Deep Purple (1969), hingga Mark VIII yang terakhir mengeluarkan album Rapture of Deep Purple pada tahun 2005, yang merupakan album ke-18 mereka, Deep Purple tetap selalu mendapat tempat di hati pencintanya.

Dari total delapan Mark ini, ada satu komposisi klasik, yang sampai tiga kali terbentuk, hingga disebut Mark IIa, IIb, dan IIc . Formasi ini terdiri dari  Ian Gillan (vokal), Ritchie Blackmore (gitar), Roger Glover  (bass), Ian Paice (drum), dan Jon Lord  (kibor).

Lewat komposisi ini, Deep Purple berhasil merilis delapan dari total 18 album studio mereka. Lagu-lagu yang dihasilkan line up ini juga begitu melegenda. Sebut saja  “Hush”, “Child in Time”, Soldier of Fortune”,”Highway Star”, “Burn”, “Strange Kind of Woman”, “Black Night”, dan banyak lagi. Lewat komposisi ini pulalah Deep Purple menjulang setinggi langit melalui masterpiece mereka, “Smoke on The Water” di album Machine Head tahun 1972.

Kehadiran Deep Purple di akhir 1960-an memang seperti telah mengubah peta musik rock dunia. Gaya bermusik dan aliran yang mereka tawarkan sangat berbeda dengan gaya rock yang berkibar ketika itu. Terutama lewat album Fireball di tahun 1971, yang menurut saya merupakan album terbaik Deep Purple.

Lewat gitaran Blackmore, musik Deep Purple jadi begitu kental dengan nuansa hard rock modern, alias heavy metal. Berbeda dengan Led Zeppelin dan Black Sabbath yang lebih kental nuansa blues.

Tak heran, jika belakangan, Deep Purple banyak menginspirasi grup-grup sesudah mereka. Begitu juga dengan Blackmore, yang hingga kini masih didaulat legenda gitaris rock dunia.

Bahkan, meski sempat vakum lama antara periode 1976-83, grup yang pernah dua kali mampir ke Indonesia itu tetap tak kehilangan sihirnya di mata penggemar mereka. Buktinya, hingga saat ini, mereka telah mampu menjual total lebih dari 100 juta kopi album! Mereka juga sempat mencatat rekor sebagai “Grup Paling Berisik” oleh Guiness Book of World Records .

Kekuatan gitaran Blackmore dan sentuhan jemari Lord di tuts kibor menjadi kunci sukses lebih dari setengah perjalanan karier Deep Purple.  Ya, sejak awal, perpaduan Blackmore-Lord memang seperti sudah menjadi “ruh” musik Deep Purple.

Meski bergonta-ganti personel untuk instrumen lain, duo Blackmore-Lord tetap menguasai musik Deep Purple. Blackmore memang sempat hengkang pada tahun 1976 untuk kemudian kembali pada 1984, sebelum akhirnya kembali cabut, tahun 1993.

Namun, sosok Blackmore telah kadung menjadi ikon Deep Purple lantaran gitaran telah menjiwai 13 dari total 18 album.  Deep Purple sebenarnya sempat mendapat pengganti setimpal, saat Blackmore memutuskan benar-benar hengkang.
Sayang, sang suksesor, Tommy Bolin, hanya mendapat kesempatan tampil di satu album, Come Taste the Band (1975) lantaran keburu meninggal karena overdosis pada tahun 1976. Padahal, banyak pengamat menyebut,Bolin cukup memberikan warna baru pada musik Deep Purple. Terutama pada lagu “You Keep on Moving” di mana dia berduet begitu asyik dengan Lord.

Di awal lagu, Bolin bermain halus, lalu berubah menjadi dahsyat sebelum membuat ritem yang begitu pas, untuk melodi kibor Lord pada interlude. Bolin sendiri memberikan warna di lagu ini lewat melodi-melodi colongan.

Maestro gitar rock modern, Joe Satriani juga sempat masuk line up, sebelum digantikan Steve Morse yang bergabung pada 1994, hingga saat ini. Lewat jemari Morse inilah banyak orang menyebut musik Deep Purple mengalami banyak perubahan. Apalagi, posisi Lord di tuts kibord kemudian juga digantikan Don Airey, pada tahun 2002.

Di album debutnya bersama Deep Purple, Purpendicular, yang dirilis tahun 1996, Morse yang pernah bergabung dengan Dixie Regs dan Kansas, langsung membuktikan kapasitasnya sebagai gitaris andal. Terasa sekali, musik rock-baca heavy metal– ala Deep Purple jadi lebih modern, saat kita mendengar lagu “Somebody Stole My Guitar”. Kocokan gitar Morse seperti menjadi asyik untuk dititi oleh range vokal Gillan yang begitu lebar.

Sementara di lagu jagoan “Vavoom, Ted The Mechanic”, Morse berhasil memasukkan teknik-teknik gitaran rock modern ala gitaris shredder alias gitaris yang mengandalkan kecepatan tangan.  Sungguh, mendengar lagu ini, bukan seperti Deep Purple. Saya merasa seperti tengah mendengar aksi Nuno Bettencourt, yang terkenal dengan permaianan kecepatan jemari di atas dawai gitar.

Di album terakhir Deep Purple, Rapture of Deep Purple, yang dirilis tahun 2005, Morse makin membuktikan kapasitasnya untuk bisa larut dengan musik Deep Purple. Di album ini pula, Airey semakin mengentalkan permainannya di musik Deep Purple. Tidak seperti di album debutnya, Bananas, di tahun 2003, di album Rapture of Deep Purple, Airey memberikan sentuhan khusus “Clearly Quite Absurd“ lewat permainan kibornya.

Namun, terlepas dari itu semua, bagaimana pun Morse dan Airey patut mendapat apresiasi khusus akan kontribusinya “menyelamatkan” hidup Deep Purple. Terutama Morse, yang sejak awal kedatangannya, sebenarnya sempat memancing keraguan para penggemar.

“Saya tahu, saya memang akan selalu menjadi ‘anak baru’ di band ini,” ujar Morse, yang kerap dianggap kalah garang, dari Blackmore, saat membawakan lagu-lagu seperti “Smoke on The Water”, “Woman from Tokyo” ataupun “Highway Star”, di panggung. “Tapi, sebenarnya, saya telah bergabung dengan band ini jauh lebih lama dari yang orang pikir.”

Selain soal “gitar dan kibor”, masalah pergantian vokalis, juga sempat jadi pergunjingan media dan penggemar. Seperti diketahui, selain Gillan, masih ada David Coverdale dan Joe Lynn Turner, yang ikut berkontribusi mengangkat nama Deep Purple. Di luar  Rod Evans, tentu saja yang merupakan vokalis pertama Deep Purple dan tampil di tiga album awal mereka.

Namun, memang, untuk yang satu ini, sulit membantah, jika disebut vokal Gillan lebih mengena di lagu-lagu Deep Purple. Mungkin lantaran dia tampil paling dominan, tampi di sembilan album Deep Purple. Sementara kehadiran Coverdale (tiga album), dan Lynn Turner (satu) bisa dibilang hanya “pemanis”.

Walau, tetap harus diakui, kehadiran Coverdale dan Lynn Turner cukup memberi napas lebih panjang, lantaran keduanya memang memiliki vokal dengan range yang kurang lebih sama dengan Gillan. Terutama Coverdale yang bahkan sempat melambungkan lagu “Burn” dan “Strombringer”. Bahkan, vokalis, yang belakangan berjaya bersama Whitesnake itu juga berhasil mempertontonkan  vokal khasnya di lagu balada “Soldier of Fortune” yang legendaris itu.

Saat ini, Deep Purple sendiri tengah dalam perjalanan tur dunia mereka yang dinamai “Deep Purple: The Songs That Built Rock Tour“.