Kolaborasi Musik Metal Dengan Karinding

Suara celempung merambat pelan. Bunyinya seperti kendang atau tabla, tetapi suaranya lebih bergetar karena alat musik dari bambu itu dipasangi senar dari sembilu. Sekitar setengah menit kemudian, suara karinding menyusul, lalu giliran tiupan suling Padang yang meliuk-liuk syahdu.



Mochamad Rohman alias Man Jasad, vokalis band metal Jasad, menimpali rekan-rekannya yang bermain waditra atau kumpulan alat musik tradisional itu dengan nyanyian menggeram. Ti mimiti gumelan ka alam dunya/ rumasa kuring rumasa/ ngan saukur jadi ririwit/ nu ngararujit/ saukur nyusahken ema...( Dari pertama lahir ke alam dunia/ merasa saya merasa/ hanya sakit-sakitan/ yang menjijikkan/ hanya menyusahkan ibu…

Lagu berjudul Ema II juga Ema I itu berisi tentang permintaan maaf seorang anak karena merasa selalu menyusahkan hidup ibunya. Lebih luas lagi, permohonan maaf manusia kepada bumi akibat ulahnya yang kerap merusak alam.

Dua tembang itu melengkapi total 15 karya ciptaan kelompok Karinding Attack yang dibawakan saat konser tunggal mereka di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Selasa malam, 13 Maret 2012.

Menurut salah seorang anggota Karinding Attack, Iman Rahman Angga Kusumah alias Kimung, acara tersebut untuk merayakan usia tiga tahun kelompok musik yang dibentuk pada 12 Maret 2009 itu.

Bertajuk sama dengan lagu yang menjadi judul album perdana mereka, Gerbang Kerajaan Serigala, yang diluncurkan pada konser hari itu, mereka mengajak pianis bercorak jazz, Sony Akbar, penyanyi Risa Saraswati, dan sinden Sri Rejeki ke atas panggung.

Tentang Gerbang Kerajaan Serigala, kata Kimung, berawal dari rasa sukanya kepada serigala sejak kecil. Pendiri band metal Burgerkill itu pun menulis liriknya sambil berkhayal rumahnya penuh oleh kawanan hewan buas tersebut. “Saya ingin jadi rajanya,” kata dia.

Kumpulan lagu yang mereka sebut album karinding pertama di dunia itu berisi 12 lagu. Karinding Attack merupakan salah satu kelompok musik di Bandung yang membuat lagu-lagu dengan karinding.

Alat musik tradisional berupa bilah bambu pipih atau pelepah pohon aren sepanjang pensil itu di bagian tengahnya dibentuk agar bisa bergetar seperti senar tunggal. Karinding dimainkan dengan cara dijepit bibir lalu bagian ujung kanannya dipukul-pukul dengan jari.

Perbedaan suara dan nada yang keluar ikut ditentukan oleh jenis karinding yang dipakai dan kreasi permainan di rongga mulut. Sempat berganti personel, kini kelompok beranggotakan sembilan orang itu kebanyakan masih merangkap sebagai awak band-band metal dan punk di Bandung.

Aransemen karinding itu ikut ditemani antara lain oleh permainan suling Padang, toleat, gong tiup, serta celempung. Harmonisasi itu menghasilkan karya instrumental juga lagu berlirik bahasa Sunda dan Indonesia, seperti Dadangos Bagong, Wasit Kehed, Maaf, Nu Ngora Nu Nyekel Kontrol, dan Lagu Perang.

Mereka mulai belajar memainkan karinding pada 2008 dengan berguru ke Endang Sugriwa alias Abah Olot. Menurut pemain sekaligus pembuat karinding di daerah Parakan Muncang, Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat itu.

Setidaknya ada 4 pirigan atau jenis bermain karinding berdasarkan perbedaan suaranya, yaitu tonggeret, tutunggulan, iring-iringan, dan rereogan yang dinamis. Karinding, ujar Abah Olot, diperkirakan hasil peninggalan masyarakat Kerajaan Padjadjaran sejak enam abad silam. Fungsinya sebagai pengusir hama di sawah, alat penghibur di saat senggang dan pengusir kejenuhan, juga pelengkap ritual serta kesenian kampung.

Selain tersebar di Jawa Barat, karinding juga dikenal di Bali dengan nama genggong. Alat musik yang hampir terlupakan itu tiga tahun lalu diangkat lagi oleh musisi metal dari komunitas Ujung Berung Rebels di Bandung.

“Untuk menghargai karya karuhun (leluhur),” kata Man Jasad. Olahan alat-alat musik tradisional dengan corak lagu modern itu tak pelak menimbulkan silang pendapat. Namun aransemen karya baru itu harus diakui menghasilkan musik yang unik.

Kelompok lain seperti Karinding Militan juga melakukan hal yang sama. Di sejumlah pentas konser metal underground di Bandung kini, suara karinding jadi tak asing lagi. Ia telah menyelinap di antara gebukan drum dan distorsi gitar listrik.

Tak hanya dipakai untuk berkarya, Kimung dan kawan-kawan juga menularkan cara permainan karinding kepada pelajar, kalangan umum, hingga ke komunitas dan penggemar musik metal di Bandung. Mereka pun membantu para pembuat karinding di berbagai daerah di Jawa Barat dengan cara memperluas jaringan pembeli serta toko penjual karinding di Bandung dan sekitarnya agar garis ekonominya terangkat.

Abah Olot dan pengrajin di kampung, misalnya, sekarang menjual rata-rata 200 buah karinding per bulan. Harganya berkisar Rp 30 ribu hingga 60 ribu per buah. Dari kampung, karinding kini telah menyerang dan ikut menggetarkan musik kota.

Sumber